KLIPING KULIAH VIRTUAL
PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Arab
Tak Berarti Habib (1)
Sebagaimana "mendung tak
berarti hujan", Arab juga tak berarti habib, dan habib tak berarti
keturunan Nabi Muhammad karena ada banyak Muslim yang bernama "Habib"
meskipun tidak ada "hubungan genealogis" dengan Nabi Muhammad. Ada
juga orang yang mengaku-aku atau mengklaim sebagai "habib" meskipun
bukan habib (atau, sebut saja "habib KW"), ada pula "habib
beneran" yang tidak mau disebut "habib" atau menyembunyikan
identitas kehabibannya karena kerendahan hati beliau. Dalam Bahasa Arab, kata
"habib" atau "habiib" berarti "yang tercinta"
atau "yang dicintai" (beloved). Jamak kata ini adalah
"habayib" yang sering diucapkan "habaaib".
Di kalangan umat Islam, nama
"Habib" ini bermacam-macam: ada yang digunakan sebagai "nama
depan" atau "nama pertama" (first name), ada yang "nama
keluarga" (family name atau surname), ada pula yang digunakan sebagai
"gelar kehormatan" untuk para alim-ulama dari keturunan keluarga Nabi
Muhammad SAW.
Nama habib yang digunakan
sebagai "nama depan", misalnya, yang populer, Habib Beye (pemain
sepak bola dari Sinegal; nama belakang "Beye" mengingatkan saya
kepada seseorang di Indonesia he he), Habib Bourguiba (politisi Tunisia), Habib
Koite (musisi dari Mali), Habib Nurmagomedov (atlit seni bela diri dari Rusia),
dlsb. Di Iran, juga banyak nama-nama tokoh beken yang menggunakan nama depan
habib seperti Habib Dehghani (pemain bola), Habib Kashani (pebisnis), Habib
Mohebian (penyanyi), dlsb. Di Indonesia juga begitu ada banyak nama depan yang
pakai nama habib (untuk laki-laki) atau habibah (untuk perempuan).
Adapun yang digunakan sebagai
nama keluarga contohnya Phillip Habib (almarhum), seorang mantan diplomat
Amerika legendaris. Di Amerika atau Barat pada umumnya, ada banyak Muslim yang
menggunakan "nama Kristen" untuk "menyamarkan" identitas keislamannya
karena berada di kawasan yang mayoritas non-Muslim. Kemudian Irfan Habib,
seorang sejarawan India. Lalu, Ralph Habib (almarhum), seorang mantan sutradara
top Perancis keturunan Libanon.
Nama habib yang dipakai
sebagai sebuah "gelar kehormatan" untuk seorang alim-ulama keturunan
Nabi Muhammad populer di Yaman dan sejumah negara di Asia Tenggara seperti
Habib Alwi al-Haddad (mufti Johor), Habib Ali Kwitang, Habib Luthfi bin Yahya,
dan masih banyak lagi. Dalam konteks ini maka perlu diingat, tidak semua
keturunan Nabi Muhammad itu adalah "habib" jika mereka tidak memiliki
kualifikasi keulamaan dan kualitas keilmuan tertentu. Lalu, bagaimana dengan
"sosok legendaris" "Habib" Novel Bamukmin? Maap ye, ane
kagak paham yang ini he he
Mengenai keturunan Nabi
Muhammad, ada yang disebut "sayid" (jamak: "sadah") bagi
laki-laki dan "sayidah" bagi perempuan". Di Saudi khususnya dan
kawasan Arab Teluk lain, mereka disebut "syarif" (jamak: asyraf)
untuk laki-laki dan "syarifah" untuk perempuan. Mereka kini bukan hanya
pengikut Sunni tapi juga Syiah. Mereka adalah keturunan Nabi Muhammad dari
jalur Hasan maupun Husein (yang populer dengan sebutan "Alawiyin"),
keduanya putra Ali yang menikahi putri Nabi Muhammad (bernama Fatimah).
Khusus untuk kaum sayid dan
sayidah di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, kebanyakan (atau mungkin
semuanya, perlu studi lebih lanjut), mereka adalah keturunan dari keluarga Ba
Alawi, salah satu cucu dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir (w. 956), keturunan ke-10
dari Nabi Muhammad, yang lahir di Basrah, Irak, kemudian bermigrasi dan wafat
di Hadramaut, Yaman selatan, untuk menghindari kekerasan sektarian di Irak kala
itu.
Apakah
semua orang Arab di Indonesia itu sayid atau habib? Jelas tidak. Bagaimana cara
mengenali kaum sayid atau tidak? Bagaimana sejarah migrasi bangsa Arab ke
Indonesia? Bagaimana kisah tentang Hadramaut yang dulunya bukan hanya kawasan
Muslim saja tapi juga Yahudi. Jangan keana-mana, panteng terus di
"channel" ini he he
Arab
Tak Berarti Habib (2)
Jadi jelaslah bahwa, seperti
dalam "kuliah virtual" sebelumnya, tidak semua Arab adalah habib,
tidak semua keturunan keluarga Nabi Muhammad (sayyid/syarif) itu adalah habib,
dan bahkan tidak semua yang bernama habib itu adalah habib.
Habib sebagai sebuah nama
Bahasa Arab bisa dipakai oleh siapapun, baik etnis Arab maupun bukan, baik Arab
Muslim maupun Arab non-Muslim. Di "Pesbuk" ini juga banyak yang
bernama depan "Habib" tapi bukan "habib" dalam pengertian
sebutan kehormatan untuk seorang alim-ulama keturunan Nabi Muhammad tadi. Anda
juga boleh-boleh saja memberi nama anak-anak Anda dengan "Habib" yang
berarti "yang terkasih".
Fenomena "habib bukan
habib" ini biasa saja. Ini sama dengan banyak orang menggunakan nama
"sultan" tapi bukan sultan, raja tapi bukan raja, laksamana tapi bukan
laksamana, raden tapi bukan raden, tengku tapi bukan tengku, demikian
seterusnya.
Adapun "habib"
(al-habib) sebagai sebuah "gelar kehormatan" di Indonesia khususnya
diberikan secara informal oleh masyarakat Muslim kepada para alim-ulama dari
kaum sadah/asyraf (para keturunan keluarga Nabi Muhammad) yang memiliki
kualifikasi keilmuan, keulaman, dan keteladanan tertentu. Jadi, tidak semua
sayyid/syarif itu habib tapi semua habib pasti sayyid/syarif.
Sebagai sebuah gelar
informal, sama seperti fenomena tidak semua kiai itu adalah kiai dalam
pengertian seorang Muslim alim Jawa. Di Jawa, sebutan "kiai" bisa
berarti nama sebuah tombak sakti seperti tombak Kiai Plered di Kesultanan
Yogyakarta, nama sebuah "hewan sakti" seperti Kiai Selamet, nama
sebuah "kerbau bule" di Kasunanan Surakarta. Dulu, ada seorang
pendeta Kristen Jawa legendaris bernama Kiai Sadrach (w. 1924). Masa kecilnya
bernama Radin yang kemudian diganti Radin Abbas (lengkapnya Radin Abbas Sadrach
Soepranata) waktu nyantri di Jombang, sebelum menjadi pengikut Kristiani. Ia
dibimbing oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (w. 1885) yang juga seorang
evangelis Kristen Jawa legendaris.
Kembali ke laptop. Seperti
saya jelaskan sebelumnya, para sayyid di Indonesia adalah keturunan dari
keluarga Ba 'Alawi atau 'Alawi saja, salah seorang cucu dari Ahmad bin Isa
al-Muhajir (keturunan Nabi Muhammad ke-10 dari jalur Imam Ja'far bin Muhammad
al-Sadiq, generasi ke-5 keturunan menantu Nabi, Ali bin Abu Thalib. Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far bin Muhammad
al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib). Beliau
mendapat sebutan "al-Muhajir" yang berarti orang migran karena beliau
memang asalnya dari Basrah, Irak, yang kemudian migrasi ke Hadramaut, Yaman,
karena ada kekacauan sosial di Irak di zaman Dinasti Abbasiyah. Makam beliau
masih dikeramatkan di Hadramaut.
Keturunan Ba 'Alawi (kata
"Ba" ini merupakan dialek Arab Hadramaut yang berarti
"bani" atau anak-cucu / keturunan) ini tidak hanya tersebar di Asia
Tenggara (khususnya Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei) tetapi juga
India dan Afrika (khususnya Tanzania, Kenya, Somalia, dan Comoros). Para
keturunan dari keluarga 'Alawi ini bisa dilihat dari nama belakang mereka
seperti Alatas, Aljunied, Alhadad, Alkaaf, Assagaf, Shihab, Alydrus, Alhabshi,
Aljufri, dlsb. Kalau nama belakang mereka adalah "Bamukmin, Baswedan,
Ba'asyir, Basalamah, Baraja, Bafadhal,dlsb, jelas bukan dari keluarga
sayyid/sadah ini jadi tidak mungkin bergelar habib meskipun mereka pakai nama habib.
Tidak semua orang
Arab-Hadramaut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah keturunan keluarga
sadah Ba 'Alawi. Ada banyak yang berasal dari kelompok-kelompok sosial-agama
non-sadah di Hadramaut seperti kelompok masyayih atau Irshadi, kelompok suku
atau disebut qabail, atau kelompok du'afa, yaitu kelompok / kasta sosial paling
rendah seperti petani, pekerja kasar, bekas budak, dlsb. Jadi harus hati-hati
ya jangan tertipu karena tidak semua yang bermuka "Arab-Yaman" dan
Arab lainnya itu "habib he he.
Bagaimana
penjelasan berikutnya tentang "dunia habib" ini? Bersambung lagi
ajalah, capek jari-jemariku yang lentik ini he he
Arab
Tak Berarti Habib (3)
Sebagaimana komunitas
Tionghoa, orang-orang Arab juga sudah datang, meskipun dalam jumlah terbatas, ke
kawasan yang kini bernama Indonesia jauh sebelum kedatangan para bangsa Eropa
seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan mereka berasal dari Yaman selatan
(Hadramaut), meskipun ada juga yang dari kawasan Arab lain, termasuk daerah
"Arab hitam" (Afrika).
Karena teknologi pesawat
terbang belum ditemukan, maka kelompok migran Arab ini menjadikan laut,
khususnya Samudra Hindia, sebagai jalan utama transportasi. Setelah Portugis
dan Belanda datang, intensitas migrasi menurun dan jumlah mereka pun berkurang.
Kelak, setelah dibukanya Terusan Suez (Suez Canal) pada 1869 dan diperkenalkan
teknologi kapal uap, komunitas Arab ini kembali berbondong-bondong ke Asia
Tenggara.
Ada sejumlah sarjana dan
sejarawan yang membahas tentang komunitas Hadrami Arab (baca, "Arab Hadramaut/Yaman)
di Asia Tenggara ini seperti van den Berg, van der Kroef, Engseng Ho, Freitag,
de Jonge, Azra, Jacobson, dan masih banyak lagi. Menurut para sejarawan ini,
ada banyak motivasi kedatangan mereka disini: dari motivasi keagamaan (dakwah
misalnya) sampai motivasi ekonomi. Tetapi pada umumnya motivasi terkuat mereka
adalah untuk berdagang dan mencari penghidupan.
Sebab-sebab migrasi atau
berkelananya bangsa Arab Yaman ke Asia Tenggara juga bervariasi, termasuk
karena kekeringan dan kelaparan serta kekacauan sosial-politik yang melanda
Yaman. Mereka berdagang dan mencari penghidupan di Asia Tenggara yang sebagian
dikirim ke anggota keluarga di Yaman dengan cara dititipkan ke teman.
Seperti saya katakan
sebelumnya, tidak semua kaum migran Arab di Nusantara berasal dari keluarga
agamis, apalagi dari "keluarga sadah" atau "keturunan"
keluarga Nabi Muhammad. Bahkan yang berasal dari "keluarga sadah" ini
tergolong sedikit. Kebanyakan justru dari masyarakat non-sadah maupun awam
(seperti kelompok Irshadi, qaba'il, maupun du'afa).
Lucunya, dari dulu,
masyarakat Nusantara, khususnya kaum Muslim, menganggap semua orang Arab ini
adalah para ahli agama sehingga diserahi tugas untuk mengurus masjid, membaca
Al-Qur'an, dan hal-ikhwal ritual keislaman. Padahal, tidak semua dari mereka
ini berasal dari keluarga terdidik dan relijius. Banyak sekali dari mereka yang
berasal dari keluarga awam dan tak terdidik yang minim wawasan keagamaan.
Banyak juga dari mereka yang berlatar pedagang, pekerja kasar, maupun bekas budak.
Dulu, kebanyakan dari kaum
migran Arab ini adalah laki-laki sehingga banyak dari mereka yang melakukan
kawin-mawin dengan perempuan lokal di Nusantara. Hasil dari "perkawinan
silang" ini disebut "Arab peranakan" atau populer dengan sebutan
"muwallad". Ini seperti kelompok Mestizos di Amerika Latin atau
Filpina, yakni warga keturunan hasil perkawinan silang Eropa/Amerika dengan
perempuan setempat. Warga Arab yang tidak memiliki "darah campuran"
(mixed blood) disebut "wulayati".
Jadi jelaslah bahwa ada banyak
ragam warga Arab di Nusantara, tidak melulu "kaum sadah" apalagi
"habaib". Kelak, sebagian dari mereka, baik yang "kaum
sadah" maupun "kaum Irshadi" (masyayikh) ada yang menjadi tokoh
penting di Asia Tenggara seperti Sayyid Ali bin Usman bin Shihab (Sutan Siak di
Riau), Sayyid Abdurahman al-Qadri ("pendiri Pontianak), Mari bin Amude
Alkatiri (mantan Perdana Menteri Timor Leste), dlsb.
Pada zaman Belanda, peranan
para tokoh Arab ini bermacam-macam: ada yang anti-kolonial dan pejuang heroik
melawan penjajah Belanda seperti Syaikh Salim bin Abdullah bin Sumair. Tapi ada
juga yang pro dan berteman setia dengan Belanda dan bahkan menjadi penasehat
khusus pemerintah Belanda untuk urusan komunitas Arab seperti Sayyid Usman bin
Abdullah al-Alawi al-Hussaini. Beliau menjadi penasehat Belanda atas usulan
dari Christian Snouck Hurgronje. Pada waktu tokoh Muslim dan umat Islam di
Banten dan sekitarnya mengibarkan perlawanan terhadap Belanda pada 1888, Sayyid
Usman justru mengeluarkan fatwa haram melawan Belanda dan "pemerintahan
kafir" Hindia-Belanda.
Bagaimana
kisah selanjutnya? Bersambung lagiiii he he
Arab
Tak Berarti Habib (4)
Seperti saya sebutkan dalam
kuliah virtual sebelumnya, menurut sejumlah sejarawan, kaum sadah di Asia
Tenggara adalah keturunan dari Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir,
"keturunan" ke-10 Nabi Muhammad. Tetapi menariknya, setahu saya,
teks-teks lokal di Tanah Jawa (seperti Babad Cirebon, Sajarah Banten, dlsb)
hanya menyebut nama Syaikh Jamaluddin Akbar al-Husaini yang populer dengan nama
Syaikh Jamaludin Kubro, sebagai "nenek-moyang" Walisongo dan para
penyebar Islam di Jawa dan beberapa pulau lain di Nusantara, termasuk Kelantan,
Aceh, dan Sulawesi.
Tidak ada yang tahu pasti,
siapa sebenarnya "sosok misterius" Syaikh Jamaludin Kubro yang konon
hidup antara abad ke-14/15 ini. Sebagian sumber menyebut ia sebagai pendakwah
dari Malabar, Kesultanan Delhi, yang nenek-myangnya dari Hadramaut (dengan
begitu apakah ia adalah keturunan dari Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir tadi?
Saya sendiri tidak tahu). Sumber yang lain menyebut beliau dari Kashan, Persia
(Iran).
Sejumlah teks lokal juga
menyebutkan kalau Syaikh Jamaludin Kubro datang ke Nusantara bersama dengan
saudaranya (Syaikh Thanauddin atau Datuk Adi Putra) dan anak-anaknya, terutama
Syaikh Maulana Ibrahim dan Syaikh Maulana Ishak. Meskipun asal-muasalnya masih
menjadi kontroversi, Syaikh Jamaludin Kubro dipercayai sebagai seorang sayyid
(Jamak: sadah) atau "keturunan" keluarga Nabi Muhammad.
Penting untuk diketahui bahwa
kaum sadah (atau yang mengklaim dari "keluarga Nabi Muhammad") tidak
hanya ada di Asia Tenggara saja tetapi juga di belahan kawasan lain:
Indo-Pakistan, Yaman, Saudi, Yordania, Maroko, Libia, Somalia, Aljazair, dlsb.
Kapan-kapan saya jelaskan tentang "diaspora sadah" ini.
Meskipun ada sejumlah
"nama panggilan kehormatan" terhadap keturunan keluarga Nabi
Muhammad, tetapi yang paling umum dan banyak dikenal adalah "sayyid"
untuk laki-laki dan "sayyidah" untuk perempuan (yang berarti
Tuan/Nyonya) atau "syarif" (untuk laki-laki) dan "syarifah"
untuk perempuan (yang berarti "yang mulia").
Dalam tradisi Sunni Arab,
"syarif/syarifah" adalah sebutan untuk keturunan Hasan bin Ali,
sedangkan sebutan "sayyid/sayyidah" adalah untuk keturunan Husain bin
Ali (adiknya Hasan). Baik Hasan maupun Husain adalah cucu Nabi Muhammad hasil
dari perkawinan antara Fatimah (putri Nabi Muhammad) dan Ali yang juga sepupu
Nabi Muhammad. Ali ini adalah putra Abi Talib, salah satu paman Nabi Muhammad
yang merawat beliau sepeninggal sang kakek, Syaibah bin Hashim (populer dengan
nama Abdul Muttalib yang sebelumnya merawat Nabi Muhammad karena ayah beliau,
Abdullah, wafat saat Muhammad masih di kandungan). Selain merawat dan
membesarkan Nabi Muhammad, Abu Talib juga gagah perkasa membela beliau dari
serbuan para "begundal Hijaz". Menariknya, meskipun Abu Talib telah
merawat dan rela berkorban untuk kehidupan dan perjuangan sang keponakan, Nabi
Muhammad, hingga akhir hayatnya Abu Talib tidak memeluk agama Islam.
Dengan latar belakang ini,
maka dapat disimpulkan bahwa kaum sadah atau asyraf itu lebih tepat disebut
sebagai keturunan Ali bin Abu Talib, bukan keturunan Nabi Muhammad, meskipun
tentu saja masih keluarga / kerabat beliau karena Hasan dan Husain adalah cucu
sang nabi. Dengan kata lain, kaum sadah itu adalah mewarisi "gen-nya
Ali" bukan gen Nabi Muhammad.
Para sejarawan mencatat, Nabi
Muhammad memiliki 3 anak lai-laki dan 4 anak perempuan yang semuanya lahir dari
istri pertama Nabi Muhammad yang bernama Khadijah, kecuali satu anak laki
(Ibrahim) yang lahir dari Maria al-Qibtiyya, seorang perempuan Kristen Koptik
(dari Mesir) yang dipersembahkan oleh Pemimpin Mesir bernama Muqawqis (juga
pengikut Kristen Koptik) sebagai istri Nabi Muhammad. Oleh sebagian sarjana,
perkawinan antara Nabi Muhammad dengan Maria al-Qibtiyya ini menjadi dasar
diperbolehkannya perkawinan antar-agama dalam Islam.
Para sejarawan juga mencatat,
selain Fatimah, anak-anak Nabi Muhammad yang lain (Qasim, Abdullah, Zainab,
Ruqayah, Umi Kultsum, Ibrahim) wafat saat masih kecil atau belum sempat memiliki
keturunan. Jadi hanya Fatimah yang melahirkan keturunan: Hasan dan Husain tadi.
Bagaimana
nasib kaum sadah / asharaf di dunia Arab dewasa ini? Apakah mereka ini hidup
terhormat secara politik-ekonomi-sosial seperti dulu atau justru sebaliknya?
Bersambung lagi ah he he
Arab
Tak Berarti Habib (5)
Menjadi atau menyandang
status sebagai "keluarga besar" Nabi Muhammad (ahl al-bait) tidak
secara otomatis dimulyakan secara sosial-politik. Sejak dulu, paska wafatnya
Nabi Muhammad SAW, perseteruan antar-suku dan klan demi politik-kekuasaan
selalu terjadi. Bahkan sebelum Islam lahir, spirit tribalisme itu sangat kuat
dan menjadi karakteristik masyarakat Arab, khususnya di kawasan Jazirah Arab.
Sejak sebelum era Islam, suku-suku dan klan Arab selalu ingin menguasai Mekah
dan Ka'bah sebagai simbol otoritas politik-ekonomi-agama masyarakat Jazirah
Arab.
Sering kali perseteruan
antar-suku/klan Arab itu berakhir tragis: perang dan pembunuhan. Tidak peduli
apakah mereka berperang melawan keluarga nabi atau tidak, sesama suku atau
tidak. Perang sipil antar-umat Islam sudah meletus sejak awal-awal perkembangan
agama Islam paska wafatnya Nabi Muhammad. Banyak para sahabat nabi dan
tokoh-tokoh Muslim awal yang terbunuh atau dibunuh dengan tragis oleh kaum
Muslim itu sendiri karena persoalan rebutan kekuasaan.
Perang sipil antar-umat Islam
pertama kali adalah Perang Jamal atau Perang Basrah antara Aisyah (istri Nabi
Muhammad) melawan para pendukung Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad).
Aisyah marah karena mendengar Khalifah Usman dibunuh. Kelak, Ali juga dibunuh.
Anak-anak Ali: Hasan dan Husain yang melahirkan kaum "sadah" atau
"syarif" juga mati dibunuh. Hasan mati diracun oleh istrinya yang
bernama Ja'da binti al-Ash'at dari suku Kindah di Yaman.
Para sejarawan Syiah maupun
Sunni seperti Baladhuri, al-Waqidl, Haitham, dlsb mencatat Ja'da bersedia
membunuh suaminya sendiri karena disuruh Muawiyah, Gubernur Syam (wilayahnya
mencakup Suriah, Palestina, dan Yordania), yang kelak mendirikan Dinasti
Umayah. Konon Mu'awiyah mengiming-imingi Ja'da harta-benda, kekuasaan, serta
menjanjikannya kawin dengan putranya, Yazid, sehingga ia bersedia meracun
suaminya.
Mu'awiyah ini dari klan Bani
Umayah (satu klan dengan Khalifah Usman yang terbunuh diatas. Klan ini adalah
keturunan dari Umayah bin Abdus Syam) yang tidak terima tampuk "kekuasaan
Islam" jatuh ke tangan Bani Hasyim (Ali cs termasuk Nabi Muhammad berasal
dari klan Bani Hasyim yang merupakan keturunan dari Hasyim bin Abdul Manaf).
Karena ambisi kekuasaan yang sudah diubun-ubun, Mu'awiyah yang merasa diri
lebih senior dan perpengalaman dalam urusan pemerintahan, tidak mau tunduk
kepada Hasan yang menggantikan Ali sebagai Gubernur Kufah (Irak) yang
ditahbiskan oleh pengikutnya sebagai "Khalifah Islam" ke-5 sepeninggal
Ali. Oleh Muawiyah, Hasan dipandang sebagai "anak ingusan" yang tidak
memiliki pengalaman dalam urusan politik-pemerintahan.
Perseteruan terus berlanjut.
Kelak, putra Mu'awiyah, Yazid, mengibarkan perlawanan melawan Husain (putra
kedua Ali yang dinobatkan sebagai pemimpin sepeninggal Hasan) dan pendukungnya
dalam Perang Karbala yang berakhir tragis dan kekalahan di pihak Husain. Husain
sendiri mati dipenggal. Kurang lebih 90 tahun, Dinasti Umayah berdiri dengan
pusatnya di Damaskus, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Abbul Abbas as-Shafah
yang merupakan keturunan dari salah satu paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul
Muttalib, yang kemudian menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah yang berpusat di
Bagdad.
Yang menarik adalah baik klan
Bani Hasyim, klan Bani Umayah maupun klan Bani Abdul Muttalib yang saling
berseteru itu sama-sama dari Suku Quraisy, yaitu keturunan dari Fihr al-Quraisy
yang juga keturunan Nabi Ismail (putra Ibrahim) dari jalur Adnan.
Nah,
bagaimana dengan para keturunan / anak-cucu Hasan dan Husain sepeninggal orang
tua mereka? Kemana mereka mengungsi? Sebagian dari mereka kelak ada yang
mendirikan dinasti-dinasti kecil seprti Alid di Iran, Idrisi di Maroko,
Sulaimani di Maghreb, dslb. Ada pula yang menjadi para imam Syiah atau
"Partai pendukung Ali" di Yaman, Iran, Irak, dlsb. Lanjut lagi aja ya
ceritanya, biar penasaran..
Arab
Tak Berarti Habib (6)
Kuliah virtual hari ini
melanjutkan postinganku yang sempat tertunda yang berjudul "Arab Tak
Berarti Habib". Ini edisi keenam. Jadi yang "ketinggalan kelas",
silakan baca-baca dulu postingan-postinganku sebelumnya tentang ini supaya
nyambung.
Seperti saya jelaskan
sebelumnya, setelah terjadi huru-hara dan perebutan kekuasaan
politik-pemerintahan antara klan-klan pecahan Suku Quraisy, yaitu Bani Hasyim
(Ali, Hasan, Husain, cs) dan klan Bani Umayah (Usman, Muawiyah,Yazid, cs) pasca
wafatnya Nabi Muhammad, kekalahan ada di pihak Bani Hasyim. Muawiyah berhasil
membangun Dinasti Umayah (beribukota di Damaskus, Suriah) yang berkibar selama
kurang lebih 90 tahun, sebelum kelak dihancurkan oleh klan Suku Quraisy lain:
Bani Abbas, yang kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Irak.
Meskipun kubu Bani Hasyim
kalah perang, bukan berarti sejarah mereka berakhir. Keturunan Hasan maupun
Husain kelak ada yang mendirikan dinasti baru dan meneruskan karir di dunia
politik-pemerintahan, tapi ada pula yang memilih jalur dakwah dan agama,
meninggalkan arena politik praktis.
Husain hanya melahirkan satu
keturunan: Ali Zainal Abidin yang kemudian nikah dengan Fatimah (putri Hasan
sendiri) yang kelak melahirkan Muhammad al-Baqir. Dari jalur inilah kemudian
lahir Ahmad bin Isa al-Muhajir, leluhur para sayyid dan habib di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Keturunan Husain ini
kelak ada yang mendirikan Dinasti (Daulah) Fatimiyah yang menganut aliran Syiah
Ismailiyah di Afrika Utara yang berpusat di Mesir, yang berkuasa sejak abad
ke-10 sampai akhir abad ke-12. Dinasti ini kelak dihancurkan oleh Jenderal
Salahuddin Yusuf bin Ayyub yang kemudian mendirikan Dinasti Ayubiyah yang
berpaham Sunni. Menarik untuk dicatat, Universitas Al-Azhar di Mesir itu
didirkan oleh rezim Syiah Dinasti Fatimiyah ini.
Sementara itu, Hasan
menurunkan enam anak: Muhammad, Zaid, Qasim, Hasan, Abu Bakar, dan Fatimah. Beberapa
keturunan Hasan juga mendirikan sejumlah dinasti kecil. Kelak, keturunan mereka
ada yang mendirikan Dinasti Alid di Iran utara (Tabaristan, Daylam dan Gilan)
yang didirikan oleh Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang
berkuasa sejak abad ke-9 sampai 14. Dinasti Alid ini menganut paham Syiah
Zaidiyah. Ada pula yang mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko yang didirikan
oleh Idris bin Abdullah bin Hasan. Keturunan lain, ada yang mendirikan Dinasti
Sulaimaniyah di Tihama (dulu masuk wilayah Yaman), dlsb.
Ada pula yang menjadi
penguasa Hijaz atau Syarif Makah. Syarif Husain adalah penguasa Hijaz (wilayah
Arabia bagian barat yang mencakup Makah dan Madinah) terakhir yang hancur pada
1920-an. Sejak hancurnya Syarif Husain ini, sebutan "syarif" yang
dulu untuk menyebut "keturunan Hasan bin Ali" kemudian lenyap,
kemudian diganti dengan "sayyid" yang dulu dipakai untuk menyebut
"keturunan Husain bin Ali saja. Itulah sebabnya kenapa ulama kharismatik
Makah keturunan Hasan yang bernama Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Hassani
populer dengan sebutan "Sayyid" bukan Syarif. Para ulama dan kiai
dari Nusantara banyak yang berguru dengan ayah (Sayyid Alawi) atau kakek
(Sayyid Abbas) beliau. Bukan hanya itu, Sayyid Abbas, Sayyid Alawi, dan Sayyid Muhammad
sendiri banyak berguru dengan para ulama Indonesia di Makah saat itu yang
lumayan banyak dan tersohor (lain kali mungin saya jelaskan).
Kedua
putra Syairf Husain ini, bernama Abdullah dan Faisal, kelak menjadi penguasa /
raja Yordania (Bahasa Arab: Urdun) dan Irak atas bantuan Inggris yang dulu
menjadi rival Turki Usmani (Ottoman) di Arab dan Timur Tengah. Abdullah menjadi
Raja Yordania (al-Mamlakah al-Urduniyah al-Hasyimiyah) yang dulu bernama Emirat
Trans-Yordania (Imarat Syarq al-Urdun). Penamaan Yordania sebagai
"Kerajaan Hasyimiyah" ini untuk menegaskan kalau mereka adalah
keturunan dari klan Bani Hasyim yang musuhan dengan Bani Umayah di atas.
Sementara itu Faisal didaulat menjadi Raja Irak pada tahun 1920-an, yang kelak
diberontak oleh kelompok Syiah, Yazidi dan Assyria. Inggris dan Perancis dulu
sibuk berkoalisi dengan para tokoh Muslim Arab di Timur Tengah untuk
menggembosi pengaruh Turki Usmani (bersambung).
Arab
Tak Berarti Habib (7)
Bisa dipastikan pasca
tumbangnya Raja Husain (atau Syarif Husain), yang dijuluki Syarif Besar Makah
atau kadang-kadang disebut Raja Hijaz pada awal 1920-an, otoritas politik klan
Bani Hasyim mulai melemah di kawasan Arab (hanya bertahan di sejumlah kawasan),
dengan demikian pengaruh politik "keluarga sadah" (atau "keluarga
asyraf") keturunan Ali bin Abi Thalib juga mengendur.
Sekali lagi saya tegaskan,
saya lebih sreg menyebut "sadah" (sing. "sayyid") atau
"asyraf" (sing. "syarif") sebagai "keturunan Ali"
(menantu Nabi Muhammad) ketimbang sebagai "keturunan Nabi Muhammad"
karena memang mereka adalah anak-cucu Ali yang menikah dengan putri Nabi
Muhammad: Fatimah. Jika Nabi Muhammad pernah menyebut Hasan dan Husain (putra
Ali-Fatimah) sebagai "keturunan (nasab)" beliau, saya lebih
membacanya sebagai "nasab sosial", bukan dalam pengertian "nasab
genetik/biologis". Seperti dalam antropologi, ada dua istilah untuk
menyebut "ayah", yaitu "genitor" ("ayah
biologis") dan "pater" (ayah sosial). Bagaimanapun juga, mereka
adalah "gen-nya Ali bin Abi Talib bukan "gen"-nya Fatimah binti
Nabi Muhammad. Meskipun begitu, mereka adalah "keluarga besar" (ahlul
bait / dzurriyah) Nabi Muhamamd SAW.
Penting juga untuk diketahui
(khususnya bagi yang belum mengetahui), bahwa keturunan / anak-cucu Ali ini
kelak ada yang menjadi pengikut Syiah dari berbagai aliran (Zaidiyah,
Ismailiyah, Itsna Ay'ariyah, dlsb), ada pula yang menjadi pengikut Sunni dari
berbagai mazhab. Jadi kalau ada para "habib" dan "sayyid"
yang memusuhi pengikut Syiah sama saja dengan memusuhi "keluarga
besar"-nya sendiri. Syiah itu artinya "partai / kubu /
pendukung" Ali pada waktu terjadi kekacauan politik dan perseteruan antara
klan Bani Hasyim (Ali cs) dan klan Bani Umayyah (Usman, Mu'awiyah cs) seperti
pernah saya singgung sebelumnya.
Kalau dalam konteks Indonesia
dewasa ini, kelompok Syiah ini ya mirip-mirip seperti Ahokers, Jokowers,
"Bibibers" (pendukung Pak Rizieq), Gus Durian, Qurtubiyan (yang ini
pendukungku he he), "Iranian" (maksudku, pendukung Ira Koesno he he).
Dengan kata lain, Syiah itu awalnya adalah sebuah "kelompok politik"
bukan "kelompok agama". Belakangan saja, Syiah kemudian menjadi
"aliran teologis". Bukan hanya Syiah saja sebetulnya, berbagai aliran
dalam Islam (Murji'ah, Khawarij, dlsb) bermula dari faksi-faksi politik
(kapan-kapan saya jelaskan di "edisi khusus").
Kembali ke laptop. Menarik
untuk disimak, meskipun Syarif Husain adalah "bawahan" Turki Usmani
(Ottoman) yang membawahi Hijaz, ia pernah melakukan pemberontakan melawan Turki
Usmani di Transjordan (yang wilayahnya mencakup Yordania, Suriah, dan
Palestina) pada waktu Perang Dunia I meletus, yang kemudian disusul dengan
Revolusi Arab pada tahun 1916. Pemberontakan itu dibantu oleh suku-suku Badui
lokal, Kirkasian, Kristen, Inggris, dan Perancis. Kawasan Arab dulu menjadi
ajang perebutan antara Inggris, Perancis, dan Turki. Masing-masing berpatron
dengan para tokoh dan pemimpin Arab, Kurdi, dan lainnya di Timur Tengah.
Seperti yang terjadi di Asia
Tenggera, Perancis dan Inggris juga membagi-bagi wilayah Arab dan dipecah
menjadi teritori-teritori kecil independen seperti tampak dewasa ini. Wilayah
Tranjordan juga kelak dipecah. Putra kedua Syarif Husain, Abdullah, kemudian
menjadi Raja Emirat Transjordan. Putra Syarif Husain kedua, Faisal, kemudian
ditunjuk menjadi Raja Irak.
Kelak,
di Irak terjadi berbagai kudeta, pemberontakan dan perebutan kekuasaan terhadap
rezim klan Bani Hasyim, dan menariknya salah satu kelompok yang memberontak itu
juga dari "keluarga sadah" dari klan al-Kailani, yang merupakan salah
satu klan berpengaruh di Irak. Dipimpin oleh Rasyid Ali al-Kailani, mereka
melakukan kudeta pada 1940an. Kudeta ini disokong oleh Nazi Jerman yang
bermusuhan dengan Inggris yang waktu itu menjadi pendukung klan Bani Hasyim di
Irak (bersambung).
Arab
Tak Berarti Habib (8)
Dalam konteks modern,
keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari jalur Fatimah binti Nabi Muhammad
maupun dari jalur Fatimah binti Huzam al-Kullabiyyah (populer dengan sebutan
Umm al-Banin dari Suku Bani Kilab) tersebar di berbagai negara. Sejumah sarjana
berpendapat, jika keturunan Ali dan Fatimah binti Nabi Muhammad disebut
"sadah" (sayyidat untuk permpuan) atau "asyraf" (syarifat
untuk perempuan), maka keturunan Ali dan Fatimah binti Huzam disebut
"alawi". Istilah alawi" juga dipakai untuk menyebut
"pengikut Ali bin Abi Talib." Perlu penelitian dan kajian lebih
lanjut dan serius tentang istilah dan kaum"alawi" ini mengingat ada
sejumlah perselisihan pendapat.
Hati-hati, tidak semua nama
kelompok Muslim dewasa ini yang menggunakan nama "alawi itu adalah
"alawi" (keturunan Ali-Fatimah binti Huzam). Ada beberapa kelompok
Islam dan "rezim Muslim" (baik yang berafiliasi politik, tasawuf atau
sufisme, atau sekte keislaman tertentu) yang menggunakan nama "alawi"
(atau "alevi" / "alavi", tergantung dialek bahasa mana yang
dipakai).
Misalnya sekte Syiah Alawi di
Suriah (dan Libanon) yang juga disebut Nusairiyah (karena sekte ini didirikan
oleh Ibnu Nusair pada abad ke-9 M) atau Arab Alawi. Kemudian Alawi Bohra (nama
sekte Islam di India dan Pakistan), Alevi di Turki (kelompok Sufi), Sadah Ba
'Alawi di Yaman (kelompok sayyid keturunan Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir),
Sulalatu Alawiyin atau Dinati Alawi di Maroko, dlsb.
Penting untuk diketahui,
tidak semua keturunan Ali ini kelak menjadi pengikut sekte agama Islam Syiah,
meskipun istilah "Syiah" itu sendiri awalnya merupakan sebutan untuk
kelompok atau partai pendukung Ali bin Abi Thalib (karena itu dulu kelompok ini
juga disebut "Syiatu Ali" atau pendukung / pengikut Ali). Banyak dari
keturunan Ali ini yang menjadi pengikut Sunni dan aliran Islam lain. Syiah
dalam pengertian "sekte agama" atau "aliran teologi" baru
muncul belakangan setelah terjadi proses "radikalisasi teologi-keagamaan"
dalam internal para pendukung Ali ini. Dengan kata lain, tidak semua keturunan
Ali itu menjadi pengikut sekte Islam Syiah, meskipun awalnya mereka itu adalah
Syiah (baca, "kubu Ali). Kok "mbulet" sekali ya? He he
Seperti saya jelaskan
sebelumnya, Syiah awalnya merupakan sebuah "kelompok politik"
(berpusat di Kufah, Irak) yang membela "kubu Ali" yang berseberangan
dengan "kubu Muawiyah" (dulu berpusat di Damaskus, Suriah). Menarik
untuk diketahui, di Suriah saat ini, sejak revolusi Hafiz al-Assad tahun 1970,
negara ini dipimpin oleh kaum Alawi (bukan "sadah") dari keluarga
"al-Assad" (sejak tahun 2000 dipimpin oleh Bashar al-Assad, putra
Hafiz al-Assad).
Meskipun sejumlah kelompok
Syiah (baca: "pendukung / pengikut Ali) sukses di dunia
politik-pemerintahan, tetapi tidak semua keturunan Ali sukses di jalur ini,
kecuali di sejumah negara seperti Yordania dan Maroko. Banyak pula dari
keturunan Ali yang memilih menjadi kaum intelektual dan agamawan atau menekuni
Sufisme. Yaman, Iran, Irak, Libanon, adalah contoh dari negara-negara yang cukup
banyak populasi Syiah.
Khusus di kawasan Arab Teluk
(Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman), kaum "sadah"
sama sekali tidak dominan secara politik-ekonomi dan sangat minor perannya di
dunia politik-ekonomi. Para penguasa politik-pemerintahan di kawasan Arab Teluk
adalah suku-suku Arab diluar klan Bani Hasyim. Di Saudi sendiri, "rezim
sadah" tumbang pasca rontoknya Syarif Husain pada awal 1920-an. Seluruh
keluarga Syarif Husain kemudian mengungsi ke Yordania (dulu Transjordan).
Di
Saudi, sejumlah tokoh dari golongan "sadah" memilih menekuni dunia
pendidikan dan keagamaan. Ada beberapa yang cukup populer seperti Sayyid Alawi
dan putranya Sayyid Muhammad (mereka sudah wafat, kini diteruskan oleh Sayyid
Ahmad bin Muhammad bin Alawi al-Hassani) di Makah (mereka semua pengikut aliran
Sunni mazhab Maliki) dan Sayyid Hasyim bin Muhammad bin Nasr al-Salman (beliau
tokoh intelektual dan ulama Syiah yang sangat dihormati di daerah Saudi timur).
Karena ada ikatan historis-kultural Sunni-Syiah ini, maka hubungan di akar
rumput kelompok Sunni-Syiah di Saudi ini sangat baik. Hanya sekelumit kelompok
ekstrim saja yang hobi memusuhi Syiah di kawasan Arab ini (bersambung).
Arab
Tak Berarti Habib (9)
Di kalangan umat Islam,
sebutan atau panggilan untuk anak-cucu atau keturunan Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah Binti Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Di sebagian kawasan Arab Teluk
(Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait), mereka dipanggil
"syarif" atau "sayyid" untuk laki-laki,
"syarifah" atau "sayyidah" untuk perempuan. Tetapi sebutan
ini hanya dikenal di kalangan atau kelompok Islam tertentu saja karena pengaruh
"kaum sadah" (jamak dari kata "sayyid") atau
"aysraf" (jamak dari kata "syarif") sangat minim di kawasan
ini.
Tidak seperti di Yaman selatan
atau di Indonesia, dimana kaum sadah sangat dihormati oleh masyarakat Muslim
setempat sehingga mendorong munculnya sejumlah "habib palsu" supaya
naik kelas dikit (seperti fenomena "habib bibza hat" itu he he), di
Arab Teluk tidak demikian karena memang bukan kelompok Arab sadah yang
memimpin, mengendalikan, dan menguasai masalah politik-pemerintahan, ekonomi,
sosial-budaya, maupun wacana keagamaan dan dunia pendidikan.
Beberapa kali saya
menyinggung soal ini ke murid-muridku, tetapi respons mereka biasa-biasa saja
hambar tak bergaram dan tak bersambal. Bahkan banyak juga yang tidak paham
dengan sebutan "sayyid" aau "syarif". Murid-muridku yang
dari "kaum sadah" juga ada (baik dari Saudi sendiri maupun dari
Yaman, baik Syiah maupun Sunni) tetapi sikap mereka juga biasa-biasa saja.
Tidak "gemagus" (kata orang Jawa) atau merasa diri
"superior" karena dari golongan sadah. Dengan kata lain, identitas
sadah atau non-sadah itu tidak penting, bukan sesuatu yang "woow"
gitu.
Selain sebutan sayyid atau
syarif, ada pula yang menyebut "chorfa" yang merupakan Bahasa Arab
dialek Darija Maghreb (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libia). Ada juga sebagian
yang menyebut "alawi" atau "alawiyah" (untuk perempuan). Di
India dan Asia Selatan, populer juga sebutan "Mir" atau "Mirza"
(yang ini sebutan untuk anak hasil dari perkawinan perempuan sayyidah dengan
laki-laki non-sayyid).
Nah, untuk masalah perkawinan
antara kaum sadah dan non-sadah ini menarik untuk diteliti. Dulu, di Indonesia
pernah terjadi konflik dan percekcokan di kalangan Arab sendiri antara boleh
dan tidaknya perempuan dari keluarga sadah menikah dengan laki-laki non-sadah.
Konflik itu terjadi gara-gara Ahmad Surkati, seorang sarjana / ulama Arab-Sudan
yang juga menjadi pengajar di sekolah Jamiat al-Khair, menyatakan dibolehkannya
perkawinan antara laki-laki non-sayyid dengan perempuan sayyidah. Karena
masalah ini, akibatnya, Ahmad Surkati dipecat dari Jamiat al-Khair sehingga
kelak ia mendirikan al-Irsyad pada tahun 1915.
Seperti dulu pernah saya
singgung, kaum Arab di Indonesia bukan hanya dari kaum sadah saja tetapi juga
kaum non-sadah (Irshadi, qaba'il, dhu'afa) yang jumlahnya jauh lebih besar. Ada
sejumlah tokoh non-sayyid yang cukup terkenal dulu termasuk Ahmad Surkati ini.
Tokoh lain seperti Muhammad bin Abdul Hamid (Sudan), Muhammad al-Tayyib
(Maroko), Muhammad bin Usman (Tunisia), dlsb.
Sebagian
kaum sadah memang mempraktekkan kebijakan "pernikahan endogami",
yaitu pernikahan antar-kelompok mereka saja (golongan sadah), untuk memelihara
"kemurnian darah / genetik sadah" (baca, "keturunan Nabi
Muhammad"). "Kebijakan" ini menarik untuk dikaji karena
"secara genetik", mereka ini adalah "keturunan Ali", bukan
"keturunan Nabi Muhammad". Tetapi ada juga yang mempraktekkan
"pernikahan eksogami" atau "perkawinan dengan kelompok lain /
non-sadah. Beberapa muridku yang dari kaum sadah juga tidak mempermasalahkan
menikah dengan siapapun. Asisten risetku, seorang Arab non-sadah, juga ada yang
baru saja menikah dengan perempuan sayyidah (bersambung).
Arab
Tak Berarti Habib (10)
Setelah kekuasaan Syarif
Husain yang keturunan Ali bin Abi Talib rontok di Makah pada tahun 1924, ia
beserta keluarganya migrasi ke Transjordan (kini: Yordania) menyusul putranya.
Sekitar tiga tahun sebelumnya, 1921, putra Syarif Husain kedua (Abdullah) sudah
menjadi seorang amir (raja) di Emirat Trans-Yordania (Emirate of Transjordan),
yang didirikan atas bantuan Inggris, dan memang waktu itu menjadi proktektorat
(daerah perlindungan) Inggris.
Wilayah Transjordan itu dulu
meliputi Yordania, Suriah dan Palestina. Sudah sejak 1916, Syarif Husain
memimpin "Revolusi Arab" untuk melawan kekuasaan Turki Usmani
(Ottoman). Revolusi ini disokong oleh Inggris, Perancis, suku-suku Arab Badui
lokal, serta komunitas Kristen dan Kirkasia. Dulu, beberapa negara Eropa
berkongsi untuk menggembosi kekuasaan Turki di Arab dan Timur Tengah. Mereka
berpartner dengan kelompok lokal mana saja yang bersedia dijadikan sebagai
"mitra koalisi". Tentang sejarah Transjordan, akan saya jelaskan di
kemudian hari (insya Allah).
Jika Abdullah I menjadi Raja
Yordania, maka adik Abdullah (putra Syarif Husain ketiga) yang bernama Faisal
didaulat oleh Inggris untuk menjadi Raja Irak. Sebelum menjadi republik pada
tahun 1958, Irak dulu berbentuk kerajaan (al-Mamlakah al-Iraqiyyah) yang didirikan
oleh Inggris pada tahun 1921 atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa
pasca-kekalahan Turki Usmani di "Perang Mesopotamia" yang merupakan
bagian atau rangkaian dari Perang Dunia I. Faisal inilah yang ditunjuk oleh
Inggris sebagai raja pertama Kerajaan Irak.
Kenapa Faisal dari klan Bani
Hasyim yang notabene bukan "putra daerah" Irak yang justru ditunjuk
oleh Inggris sebagai raja? Kok bukan para pemimpin lokal Irak? Karena
masyarakat lokal Irak dulu memberontak Inggris. Ketika Inggris diberi "mandat"
oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk "memerintah dan mengurusi" Irak, para
pemimpin dan masyarakat lokal Irak tidak terima.
Mereka kemudian melakukan
pemberontakan kepada Inggris. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan Arab.
Berbagai elemen suku-suku Arab Irak dari berbagai aliran keislaman, termasuk
Sunni dan Syiah dulu bersatu padu melawan otoritas Inggris. Pemimpin
"pemberontakan Arab Irak" itu adalah Syeikh Muhammad Mahdi
Al-Khalissi (w. 1925), seorang tokoh spiritual dan ulama Syiah terkemuka yang sangat
dihormati baik Syiah maupun Sunni. Para ulama dan tokoh Sunni dulu bergabung
satu komando dengan Syeikh Mahdi ini untuk melawan Inggris.
Menarik untuk dicatat, Syaikh
Mahdi al-Khalissi ini adalah teman baik Syarif Husain. Ini menujukan permusuhan
Sunni-Syah itu adalah mitos yang dibesar-besarkan. Hanya orang-orang yang
"ereksi politik" saja yang selalu menjadi "biang kerok"
perseteruan antara kedua kelompok Islam ini. Masyarakat di akar rumput,
baik-baik saja di Irak. Pemberontakan ini juga disokong oleh sisa-sisa rezim
Turki Usmani yang tergusur.
Bukan hanya Arab saja,
masyarakat Kurdi di Irak utara juga ikut memberontak terhadap Inggris, yang
juga ingin mendirikan negara otonom: "pemerintahan Kurdi". Salah satu
pemimpin pemberontakan adalah Syeikh Mahmud Barzanji yang juga seorang tokoh
Sufi Qadiriyah dari Suku Barzanji yang sangat berpengaruh di daerah
Sulaimaniyah, Irak. Ia dulu sempat mendeklarasikan "Kerajaan
Kurdistan" tapi tak berlangsung lama.
Penunjukkan
Faisal sebagai Raja Irak ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pemberontakan
demi pemberontakan terus terjadi di negara yang dulu bernama Mesopotamia ini.
Bukan hanya oleh suku Arab atau Kurdi saja tetapi juga oleh elemen-elemen
masyarakat Irak lain seperti Yazidi dan Assyria. Setelah berkali-berkali terjadi
"revolusi internal", kelak Kerajaan Irak pun tumbang (bersambung).
Arab
Tak Berarti Habib (11)
Ini lanjutan "kuliah
virtual" bab "perhabiban" yang sempat tertunda cukup lama.
Panggilan "habib" sebagai sebuah gelar kehormatan untuk anak-cucu
keturan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad itu hanya populer di Asia
Tenggara (khususnya Indonesia dan Malaysia) saja, dan juga Yaman Selatan,
khususnya Tarim, Hadramaut. Selebihnya tidak populer. Termasuk di Saudi dan
Arab Teluk, sama sekali tidak populer dan jarang yang tahu sebutan
"habib" ini.
Sebagian warga Saudi dan Arab
Teluk mengerti sebutan "sayyid" atau "syarif" (untuk
keturunan Ali-Fatimah binti Muhammad atau populer dengan sebutan Fatimah
al-Zahra), bukan "habib". Ingat ada dua Fatimah yang dinikahi oleh
Ali, yaitu Fatimah binti Nabi Muhammad ini (dari Khatijah) dan Fatimah binti
Huzam al-Kulabiyah yang populer dengan sebutan Ummul Banin (karena punya
beberapa anak) yang dinikahi Ali setelah Fatimah al-Zahra wafat.
Gelar informal
"habib" itu ditujukan untuk para sarjana Islam atau ulama yang
mumpuni di bidang keilmuan keislaman dari kelompok "sayyid" atau
"kaum sadah" ini. Kalau di Indonesia saat ini, yang layak
digolongankan atau disebut "habib" itu seperti Habib Muhammad Quraisy
Shihab atau Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Perlu diingat bahwa tidak semua
sayyid itu habib tapi kalau sebutan/panggilang kehormatan "habib" (di
Asia Tenggara / Yaman) sudah pasti sayyid, meskipun ada banyak yang memakai
nama "habib" tapi bukan habib.
Di Saudi dan Arab Teluk pada
umumnya, keturunan atau anak-cucu Ali-Fatimah al-Zahra ini (baik dari jalur
Hasan maupun Hussein) ada yang berpaham Sunni (dari berbagai mazhab), tapi ada
pula yang beraliran Syiah (dari berbagai mazhab). Nama-nama klan kaum sadah
yang populer di Saudi (baik Sunni maupun Syiah) antara lain al-Qurasyi,
al-Mahmud, al-Hasani, al-Attas, al-Jufri, al-Musawi, al-Salman, al-Hussaini,
al-Hasyim, al-Musallam, dlsb.
Hubungan antar-klan /
sub-suku keturunan Ali ini masih terjalin dengan baik, meskipun berbeda aliran
keislaman. Perbedaan Sunni-Syiah tidak lantas membuat mereka bermusuhan. Bagi
mereka, jaringan dan ikatan-ikatan kesukuan ("tribal
partnership"-sebagai sesama keturunan Ali) jauh lebih kuat dan penting
ketimbang "skisme teologi-politik" Sunni-Syiah yang banyak
dipolitisir oleh banyak orang. Salah satu asisten risetku, Mahdi al-Mabruk,
bahkan mengisahkan kalau di antara mereka juga terjadi kawin-mawin, tidak
mempedulikan Sunni atau Syiah.
Dalam konteks kontemporer
Saudi dan Arab Teluk, posisi kaum sadah ini sangat lemah dari aspek
sosial-politik-budaya dan bahkan wacana keagamaan karena memang bukan suku/klan
mereka yang saat ini menguasai jagat perekonomian, perpolitikan, kebudayaan,
pendidikan, dan wacana keagamaan di kawasan Arab Teluk ini.
Kaum sadah sendiri juga
biasa-biasa saja disini seperti kelompok non-sadah lain. Tidak merasa paling
super, apalagi minta dihormati. Yang menentukan "istimewa" dan
tidaknya mereka bukan "jalur genealoginya" tetapi tingkat pendidikan
dan relasi mereka dengan suku/klan dominan (misalnya dari suku Bani Tamim yang
sangat berpengaruh).
Murid-muridku
juga cukup banyak yang dari keluarga sadah ini tetapi saya sama sekali tidak
mengistimewakan mereka, mereka juga tidak minta untuk diistimewakan. Semua muridku
saya perlakukan sama: Sunni-Syiah, sadah-non-sadah, Saudi-non-Saudi. Kalau
hasilnya bagus ya lulus, kalau hasilnya jelek ya tidak lulus. Repot amat...
Arab
Tak Berarti Habib (12)
Setelah Turki Usmani
(Ottoman) keok dalam "Perang Mesopotamia" yang merupakan bagian dari
rangkaian Perang Dunia I di kawasan Arab dan Timur Tengah, sejak 1920 Irak
kemudian berada di bawah kontrol Inggris atas mandat dari Liga Bangsa-Bangsa.
Meskipun sudah mendapatkan mandat dan berhasil mengalahkan tentara Turki Usmani,
bukan berarti Inggris bisa berleha-leha alias melenggang kangung dengan mudah
menguasai Irak.
Berbagai pemberontakan
melawan Inggris dari masyarakat lokal Irak terus mengalir dengan deras.
Berbagai elemen masyarakat Kurdi, Assyria, Yazidi, Kristen, Syiah, Sunni, dlsb
melancarkan perlawanan terhadap Inggris. Perlawanan dilakukan dengan berbagai
macam cara: dari boikot menolak pemilihan "kepala daerah" yang
disponsori Inggris sampai angkat senjata. Dulu, Sunni dan Syiah (baik yang
bertenis Arab atau Persi) bersatu padu melawan Inggris.
Beberapa tokoh pejuang
legendaris yang melawan Inggris ini antara lain adalah Syaikh Muhammad Mahdi
al-Khalissi (w. 1925), seorang pemimpin spiritual Syiah ternama yang juga
profesor ahli kajian Islam dan rektor Sekolah Teologi di Khadimiyah, Bagdad.
Beliau dulu mengeluarkan fatwa yang berisi larangan berpartisipasi dalam
pemilihan "pemimpin Irak" yang dibackup oleh Pemerintah Inggris.
Fatwa itu dipatuhi oleh hampir semua elemen masyarakat Irak, termasuk warga
Sunni dan non-Muslim, sehingga mengakibatkan kegagalan pemilihan.
Syaikh Mahdi juga memimpin
pemberontakan melawan Inggris yang kemudian dikenal dengan "Revolusi
Irak" pada tahun 1920. Pemberontakan ini disokong oleh para elit Sunni,
Kristen, Yazidi, Assyria, dan bekas aparat Turki Usmani yang tergusur dari
kekuasaan. Setelah berkali-kali melakukan perlawanan, Inggris akhirnya
memutuskan untuk mendeportasi Syaikh Mahdi ke India. Tetapi lucunya masyarakat
Muslim India, termasuk Syiah, menolak Syaikh Mahdi. Hal ini karena India dulu
berada dibawah kontrol Inggris. Syaikh Mahdi akhirnya dideportasi ke Yaman,
kemudian Makah (atas undangan Syarif Hussein), dan terakhir Iran atas undangan
Muhammad Mosaddegh, politisi senior Iran waktu itu, sampai wafat disana.
Pemimpin pemberontak lain
yang melawan Inggris adalah Syaikh Mahmoud Barzanji, seorang tokoh Kurdi.
Syaikh Barzanji berkali-kali mengadakan perlawanan dan bahkan sempat mendirikan
Kerajaan Kurdistan yang berumur sekitar 2 tahun sebelum dirangsek oleh tentara
Inggris. Syaikh Mahmoud Bazanji (atau Barzinji) adalah seorang syaikh dari
tarekat Qadiriyah dari klan Barzanji di kawasan Sulaimaniyah. Klan Barzanji ini
sangat terkenal di Irak. Banyak dari mereka yang menjadi ulama hebat yang
pengaruhnya hingga sampai ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak
berabad-abad yang lalu, banyak para ulama dari klan Barzanji ini yang menjadi
guru dan ulama senior di Makah dan Madinah yang murid-muridnya banyak yang dari
Jawa, Kalimantan, Sumatra, Lombok, dan Sulawesi.
Terlepas dari berbagai rangkaian
pemberontakan melawan Inggris, yang jelas, pemerintah Inggris dulu pada tahun
1921, menunjuk Faisal I (putra kedua Syarif Hussein Makah) dari klan Bani
Hasyim untuk menjadi raja di Kerajaan Irak (al-Mamlakah al-Iraqiyah). Kerajaan
Irak ini secara resmi memperoleh kemerdekaan pada tahun 1932 berdasarkan
Perjanjian Anglo-Irak tahun 1930. Saat itu, Nuri al-Said yang ditunjuk sebagai
Perdana Menteri-nya. Nuri al-Said ini adalah politisi senior Irak yang kelak
memainkan peran penting dalam merumuskan dasar-dasar Negara Irak modern, pasca
rontoknya Kerajaan Irak.
Sejak
1921, berbagai pemberontakan dan kudeta mewarnai Kerajaan Irak. Setahun setelah
Kerajaan Irak memperoleh kemerdekaan dan otonomi dari Inggris, Raja Faisal I
wafat, yang kemudian digantikan oleh putranya, Ghazi. Raja Ghazi hanya memimpin
beberapa tahun saja. Pada 1939 ia meninggal dan digantikan oleh putranya yang
masih kecil, Faisal II. Karena masih anak-anak, kendali kerajaan dipegang oleh
sepupunya, Abdullah, yang berasal dari Hijaz. Kelak, pada 1941, pemerintahan
Abdullah dikudeta oleh Perdana Menteri Rasyid Ali al-Kailani, karena tidak
terima Irak dipimpin oleh "non-putra daerah". Sama seperti Abdullah,
Rasyid Ali ini juga seorang sayyid (keluarga sadah) dari klan al-Kailani yang
sangat terkenal di Irak. Bagaimana kelanjutan Kerajaan Irak dan nasib klan Bani
Hasyim di Irak?
Arab
Tak Berarti Habib (13)
Menarik untuk dicatat, jika
merujuk sejarah politik Irak, kesamaan suku dan klan tidak secara otomatis
menjamin kesamaan atau kesatuan pandangan. Pula, perbedaan aliran keislaman dan
keagamaan tidak secara otomatis menjamin perpecahan dan perbedaan pandangan.
Ambisi politik dan kepentingan pribadi (atau kelompok) kadang mampu mengalahkan
ikatan persaudaraan, tribalisme, pertemanan, dlsb.
Kerena itu sebetulnya mitos
saja jika ada yang mengatakan bahwa sesama Sunni/Syiah itu bersatu, sesama
Muslim bersatu, sesama sadah bersatu, sesama Arab bersatu, sesama Persi
bersatu, sesama Kurdi bersatu, dan seterusnya. Dalam prakteknya atau
realitasnya tidak selalu demikian: sangat kompleks dan njlimet dari yang
dibayangkan, dikhayalkan, atau diidealkan.
Dalam sejarah Iraq, sesama
keturunan Ali bin Abi Talib dan Fatimah al-Zahra (yaitu kaum sadah) juga
terlibat oposisi. Misalnya perseteruan antara Raja Faisal I (Raja Irak pertama
yang ditunjuk Inggris pada tahun 1921 setelah Inggris diberi mandat oleh Liga
Bangsa-Bangsa untuk memerintah/mengntrol Irak sejak 1918 paska tumbangnya
otoritas Turki Usmani) dan Perdana Menteri-nya yang pertama, yaitu Sayyid
Abdulrahman al-Jailani atau al-Kailani (dalam Bahasa Persi).
Perseteruan itu dipicu oleh
ketidaksetujuan Sayyid Abdulrahman atas penunjukkan Faisal I sebagai raja
Kerajaan Irak. Setahun sebelum pengangkaan atau penunjukan sang raja, oleh
Pemerintah Inggris, Sayyid Abdulrahman ditunjuk sebagai Kepala Dewan
Menteri-Menteri Irak.
Para sarjana dan sejarawan
mengsinyalir bahwa Sayyid Abdulrahman kecewa kepada Inggris yang tidak
menunjuknya sebagai Raja Irak. Untuk "mengobati" kekecewaanya, Raja
Faisal I dan Pemerintah Inggris menunjuknya sebagai Perdana Menteri, tetapi
Sayyid Abdulrahman memilih untuk mengundurkan diri setelah kurang lebih setahun
menjabat. Posisinya kemudian digantikan oleh Abdul Mukhsin al-Sa'dun. Al-Sa'dun
adalah suku/klan berpengaruh di Irak sejak zaman Turki Usmani. Ia menjabat
sebagai PM Kerajaan Irak hingga tahun 1929.
Penting untuk diketahui, baik
Raja Faisal I maupun Sayyid (Syed) Abdulrahman adalah sama-sama keluarga sadah,
dan sama-sama keturunan Hasan bin Ali bin Abi Talib. Faisal adalah putra Syarif
Hussein bin Ali bin Muhammad bin Abdul Mu'in al-Hasymi ("raja-diraja"
Kesyarifan Mekah). Sedangkan Sayyid Abdulrahman adalah keturunan ke-15 dari
Sayyid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (atau al-Kailani), tokoh Sufi legendaris
yang banyak pengikutnya di kalangan kaum Muslim di berbagai belahan dunia,
termasuk di Indonesia.
Perseteruan bukan hanya
terjadi antara Sayyid Abdulrahman melawan Raja Faisal I saja. Kelak, sejarah
perseteruan ini terulang kembali. Pada tahun 1941, Perdana Menteri Sayyid
Rasyid Ali al-Jailani juga melakukan kudeta atas kepemimpinan Abdullah, sepupu
Raja Ghazi bin Faisal I, yang bertinda sebagai "pelaksana raja" arena
Ghazi waktu itu masih kecil.
Sesama etnik Kurdi juga bukan
berarti menjamin kesamaan pandangan dan tujuan. Dengan kata lain, tidak semua
tokoh Kurdi itu adalah "nasionalis Kurdi" seperti Syaikh Mahmud
al-Barzanji (atau al-Birzinji) yang mengcita-citakan pendirian Kerajaan
Kurdistan yang otonom atau independen. Bakr Sidqi adalah contoh tokoh Kurdi yang
lebih memilih sebagai "nasionalis Irak" ketimbang "nasionalis
Kurdi". Jenderal Kurdi ini kelak terlibat kudeta gagal terhadap Kerajaan
Irak yang akhirnya dieksekusi tahun 1937.
Dulu,
banyak tokoh Sunni, Syiah, Kristen Nesoria, Yazidi, Assyria dlsb juga
bersatu-padu untuk melawan Inggris pasca tumbangnya Turki Usmani. Dalam konteks
Irak, benin-benih perseteruan Sunni-Syiah sebetulnya baru terutama sejak zaman
Saddam Hussein berkuasa. Pada zaman ketika Irak menjadi kerajaan dan bahkan
sebelumnya, Sunni-Syiah di Irak lebih banyak berteman ketimbang bermusuhan.
Post a Comment
Post a Comment